Sejak awal Ramadlan, seluruh harga bahan makanan mengalami kenaikan yang cukup siginifikan. Fenomena itu seolah telah menjadi rutinitas tahunan. Entah mengapa pemerintah selalu kewalahan dalam membendung kenaikan harga itu. Padahal, seharusnya kenaikan harga yang sudah menjadi rutinitas tahunan ini, bisa diantisipasi secara dini.
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk menekan malambungnya harga bahan makanan. Diantaranya adalah dengan melakukan operasi pasar. Namun, pada kenyataannya, operasi pasar yang digelar oleh pemerintah itu, tak berdampak banyak terhadap kenaikan harga sembako dalam masyarakat. Akibatnya, harga-harga kebutuhan pokok itu tetap saja mengalami kenaikan terus menerus.
Secara teknis, kenaikan harga itu disebabkan oleh tingginya permintaan masyarakat, sedangkan jumlah persediaan barang sangat terbatas. Kemudian, yang perlu menjadi perhatian disini adalah mengapa setiap Ramadlan datang angka permintaan itu selalu tinggi? Dan apakah bulan Ramadlan itu berbeda dari bulan-bulan yang lain secara ekonomis?
Bulan Ramadlan adalah bulan yang paling mulia, di dalamnya terdapat perintah untuk melakukan ibadah puasa, yaitu ibadah yang mewajibkan untuk menahan dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Misalnya, makan dan minum, mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Jika merujuk pada perintah puasa ini, seharusnya pada bulan Ramadlan harga-harga sembako mengalami penurunan harga, bukan justru mengalami kenaikan. Karena, jika dihitung secara matematis, kebutuhan seseorang pada bulan ini jauh lebih sedikit dari pada bulan-bulan yang lain. Jika misalnya saja pada hari biasa sesorang dalam satu hari makan sebanyak tiga kali, pada bulan Ramadlan seseorang hanya makan sebanyak dua kali, yaitu saat berbuka dan sahur.
Akan tetapi, fakta yang terjadi dalam masyarakat sangat berbeda dari hitungan matematis. Pada bulan ini harga-harga justru mengalami kenaikan yang luar biasa. Sepertinya ada behind problem yang menyebabkan harga-harga ini menjadi naik. Dan jika ditarik benang merah, penyebab utamanya adalah budaya konsumtif yang telah lama mengakar dalam masyarakat.
Wujud dari budaya konsumtif ini nampak pada saat seseorang sedang berbuka puasa. Seseorang biasanya akan menyiapkan berbagai jenis makanan untuk berbuka. Mulai dari hidangan pembuka, hidangan inti, hidangan penutup, sampai hidangan pencuci mulut. Yang terkadang itu sangat berlebihan.
Puasa yang seharusnya menjadi media menambah ketaqwaan kepada Allah dan sekaligus media latihan untuk memupuk empati terhadap sesama, telah berubah menjadi rutinitas tarik ulur nafsu. Puasa tidak lebih hanya rutinitas menahan hasrat untuk makan dan minum saja, mulai dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari. Akan tetapi, setelah waktu berbuka tiba, nafsu makan dan minum itu dilepas begitu saja tanpa kontrol.
Penderitaan, rasa lapar, dan keprihatinan yang dirasakan oleh orang-orang yang kekurangan tak berarti apa-apa terhadap puasa yang dijalankan. Mereka tetaplah menjadi mereka yang selalu dalam kekurangan, rasa lapar dan ketidakberdayaan. Padahal, puasa seharusnya melatih diri seseorang untuk mampu merasakan apa yang dirasakan oleh orang-orang yang tidak mampu. Bukan menjadi rutinitas yang hanya sekedar menahan makan dan minum.
Menahan Nafsu
Salah satu tujuan ibadah puasa adalah untuk melatih seseorang menahan diri serta mengendalikan hawa nafsu atau hasrat-hasrat yang buruk. Dan salah satu hawa nafsu harus dikendalikan adalah nafsu konsumtif. Nafsu konsumtif adalah sebuah hasrat yang mengarah pada tingkat penggunaan dan penghabisan suatu barang tertentu sangat tinggi. Yang menjadi tujuan utamanya adalah menghabiskan tanpa pernah berfikir untuk membuat atau menghasilkan sesuatu (produktif).
Terkadang, hal ini tidak pernah disadari oleh banyak orang. Wajar saja jika setiap kali Ramadlan datang, tinggkat konsumsi masyarakat sangat tinggi, sehingga berbagai harga pun juga ikut melambung tinggi. Nafsu konsumtif ini tidak hanya terjadi pada saat berbuka saja, hampir seluruh nuansa Ramadlan selalu diidentikkan dengan tingkat konsumsi tinggi. Misalnya saja, pembelian pakaian dan peralatan baru. Sehingga muncul anggapan bahwa, tidak ada Ramadlan tanpa pakaian dan peralatan baru.
Gambaran diatas tentu sangat bertolakbelakang dengan spirit puasa yang sesungguhnya. Puasa menjadi kehilangan nilai-nilai sakral. Kesakralanannya telah digeser dengan nafsu konsumtif yang sudah lama menguasai jiwa dan pola pikir. Jika itu yang selalu terjadi, sungguh sangat sia-sia puasa yang dilakukan, hanya rasa lapar dan dahaga saja yang diperoleh.
Lebih jauh, nafsu konsumtif tinggi ini meniscayakan pola hidup berlebihan. Hal-hal yang seharusnya tidak perlu, sengaja diada-adakan. Buka puasa yang seharusnya cukup dengan makan dan minum sewajarnya, ditambah dengan aneka ragam makanan. Itu menunjukkan suatu pola yang berlebihan. Apakah ini yang disebut dengan empati dan kepekaan sosial?
Jawabannya tentu bukan. Justru pola seperti itu semakin menunjukkan bahwa puasa yang dilakukan tidak memberikan pengaruh apa-apa. Spirit kepekaan sosial dan empati tak nampak. Hanya spirit berlebihanlah yang nampak. Padahal Allah tidak suka dengan seseorang yang berlebihan.
Untuk mengembalikan sakralitas puasa dan sekaligus menekan kenaikan harga bahan makanan, salah satu langkah kultural yang bisa dilakukan adalah mengekang nafsu konsumtif. Sesorang harus mulai memupuk kesadaran bahwa puasa adalah latihan untuk merasakan nasib orang yang kurang mampu, latihan untuk menahan diri dari nafsu-nafsu lawwamah, serta latihan untuk bertanggungjawab kepada Allah SWT.
Sudah saatnya paradigma konsumtif tinggi dalam melaksanakan ibadah puasa harus dirubah secepat mungkin. Jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka rutinitas tahuanan kenaikan harga bahan makanan akan selalu terulang. Selain itu sakrilatas puasa juga tak akan pernah terwujud.
Untuk itu, bagi seseorang yang menjalankan ibadah puasa, hendaklah menjalankan puasanya dengan tujuan mengahap ridlo Allah dan untuk mendekatkan diri kepadaNYA. Karena Allah tidak suka orang yang berlebihan, maka puasa juga jangan sampai berlebihan. Wallahu a’lam bi al-shawab
*Penulis adalah Peneliti di Monash Institute Semarang, Ketua Kajian Ilmu Dakwah IAIN Walisongo Semarang.