PETA.
|
BANGGA MENJADI INDONESIA
Oleh: Misbahul Ulum
(Komunikasi Penyiaran Islam – Fak. Dakwah IAIN Walisongo) Terkadang, rasa cinta terhadap tanah air kerap kali diwujudkan dalam bentuk arogansi temporal. Lihat saja betapa marahnya kita saat Reog Ponorogo, Angklung, serta Batik diakui sebagai milik Negara tetangga. Dengan cepat, pemerintah segera mengambil alih kekayaan bangsa itu untuk dipatenkan menjadi “milik asli” Indonesia. Ironisnya, Kekayaan bangsa itu baru mendapat pengakuan dari Negara sendiri disaat ada Negara tetangga berbaik hati untuk mengadopsinya. Ada sebuah pertanyaan yang patut kita renungi bersama “kenapa kita harus marah?” apakah kita benar-benar merasa kehilangan atau hanya seolah-olah peduli dengan warisan bangsa?. kemana saja kita selama ini dan kenapa baru sekarang kita merasa kehilangan?. sungguh hal yang sangat lucu, semangat peduli terhadap budaya bangsa itu hanya terjadi sesaat saja. Selama ini hampir tak ada upaya dari kita untuk merawat budaya sendiri . Disadari atau tidak, kita telah terjebak dalam arus perubahan yang membabi buta. Berbagai kemajuan dengan segala atributnya telah membawa kita pada pola hidup kebarat-baratan (western). Akibatnya kita menjadi asing dengan warisan nenek moyang kita sendiri. Kita lebih suka mendengarkan music Rock dari pada mendengarkan lagu daerah, kita lebih suka mengenakan pakaian ala barat dari pada harus memakai batik. Seolah kita malu untuk mengaku bahwa “aku orang Indonesia” Pada dasarnya perubahan adalah sebuah keniscayaan, mau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, perubahan akan tetap saja terjadi. Namun bukan berarti kita harus selalu tunduk dan patuh terhadap segala perubahan yang ada. Cak Nur pernah mebedakan antara modernisasi dan westernisasi dimana untuk menjadi orang modern tidak harus western. Artinya untuk menjadi orang Indonesia yang modern kita tak harus berperilaku bak orang barat (yang dianggap modern). Cukup kiranya bagi kita menjadi orang Indonesia seutuhnya yang mampu menerjemahkan semangat kemodernan dalam bingkai ke-Indonesiaan. Nasionalisme tak harus selalu meng-elu elu kan Negara sendiri. Adakalanya sebagai wujud peduli dan cinta terhadap Negara kita dituntut untuk melakukan koreksi internal terhadap Negara kita sendiri, karena lewat koreksi itulah terlihat bahwa kita benar-benar perhatian terhadap negeri ini, jika sudah perhatian maka bukan tidak mungkin kita menjadi cinta terhadap negeri ini. “Bangga menjadi Indonesia”, itulah kiranya semboyan yang harus kita pertahankan untuk mewujudkan Nasionalisme kita. Baik atau buruk inilah Indonesia, milik kita bersama. Bangga menjadi Indonesia bukan berarti kita hanya menerima saja segala kondisi yang ada di negeri ini tanpa berbuat apa-apa. Tapi lebih jauh kita di tuntut untuk melakukan pembenahan terhadap kondisi bangsa sehingga ada alasan untuk selalu bangga menjadi Indonesia. |